Sejarah Marga Batubara

Munculnya orang-orang bermarga Batu Bara di tempat tersebut beberapa abad yang lalu, bermula dengan berpindahnya serombongan orang dari Batu Bara dekat Tanjung Balai. Rombongan orang yang berpindah itu dipimpin oleh dua orang bersaudara yang masing-masing bernama Parmata Sopiak dan Datu Bitcu Rayo. Setelah lama berjalan pada suatu ketika rombongan tersebut sampai di daerah Barumun. Di tempat itu mereka membuka perkampungan yang kemudian di beri nama Binabo. Tempat tersebut terletak kurang lebih 2 kilo meter jauhnya dari Sibuhuan yang sekarang.


Parmato Sopiak disebut berputera dua orang, masing-masing bernama Si Lai dan Si Tondang. Dari nama kedua tokoh inilah mungkin lahimya nama marga Dau Lai dan Matondang yang dilihat satu keturunan dengan orang-orang bermarga Batu Bara. Saudara Parmato Sopiak, yakni Datu Bitcu Rayo mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Si Baru dan seorang anak perempuan bemama Boru Matondang Na Sambilan Ieges (= Puteri Matondang Yang Sembilan Cantik). Berdasarkan namanya diduga puteri Datu Bitcu tersebut sangatlah cantik parasnya.

Setelah orang-orang yang pindah dari Batu Bara itu berkembang di Binabo (Barunun), meninggallah Parmato Sopiak di desa tersebut. Makamnya sekarang terletak di Tor Parginciran, dan sekitar tahun 1981 telah dipugar oleh keturunannya yang bermarga Batu Bara, Daulae dan Matondang.

Sesudah Parmato Sopiak meninggal dunia, puteranya Si Lai dan Si Tondang pergi meninggalkan Binabo untuk mencari daerah baru. Dan akhirnya mereka membuka suatu tempat pemukiman baru yang bernama Pintu Padang. Selanjutnya di tempat itu keturunan mereka berkembang dengan marga Daulae dan Matondang.

Sementara itu saudara Parmato Sopiak yang bernama Datu Bitcu meninggalkan daerah Barumun dan pergi ke daerah Mandailing. Di situ ia meminta tanah untuk dibuka menjadi tempat pemukiman. Yang memberikan tanah kepada Datu Bitcu ialah Raja Dandani Lubis yang pada masa itu berkuasa di Roburan. Tanah yang diberikan oleh Raja Dandani Lubis kepada Datu Bitcu tidak begitu jauh letaknya dari Roburan. Di tempat itulah Datu Bitcu membuka perkampungan yang kemudian bernama Pagaran Tonga. Lama kelamaan berkembanglah orang-orang yang tinggal bersama Datu Bitcu di Pagaran Tonga, dan mereka bermarga Batu Bara. Kemungkinan nama marga itu mereka ambil dari nama daerah asal mereka yaitu Batu Bara di Asahan.

Tanpa diketahui sebab-sebabnya, menurut cerita pada suatu masa teradilah perselisihan antara sesama mereka yang bermarga Batu Bara di Pagaran Tonga. Oleh karena itu sebagian pergi meninggalkan tempat tersebut dan pindah ke desa Pagaran Korsik, Tano Bato, Hutarimbaru dan ada yang sampai ke Huta Pungkut dan Huta Na Godang. Sampai sekarang di tempat-tempat tersebut memang banyak terdapat penduduk yang bermarga Batu Bara. Keturunan mereka di kemudian hari ada yang menjadi tokoh terkemuka, seperti misalnya almarhum Adam Malik yang berasal dari Huta Pungkut Julu.

Karena penduduk yang bermarga Batu Bara semakin banyak yang meninggalkan Pagaran Tonga, maka mereka yang masih tinggal di desa itu akhimya mengambil keputusan untuk menyerahkan desa itu kembali kepada raja di Roburan. Karena raja dari Roburanlah yang dahulu memberikan tanah perkampungan itu kepada Datu Bitcu. Setelah Pagaran Tonga diserahkan kembali ke kerajaan Roburan, maka raja mengirim keluarganya yang bermarga Lubis untuk meniadi raja di Pagaran Tonga. Raja tersebut bernama Sutan Namora Lubis.

Datu Bitcu sendiri yang membuka Pagaran Tonga, menurut cerita meninggal dan dimakamkan di tempat tersebut.

Demikianlah secara ringkasan kisah asal-usul marga Batu Bara, Daulae dan Matondang di Mandailing, seperti yang diungkapkan oleh Mangaraja Lelo Lubis di dalam bukunya “Sopo Godang dan Salipi MandaiIing“. Dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang bermarga Batu Bara, Daulae dan Matondang di Mandailing adalah keturunan Parmato Sopiak dan saudaranya Datu Bitcu Rayo. Mereka yang menggunakan marga Batu Bara mungkin adalah keturunan Datu Bitcu Rayo yang pernah berdiam di Pagaran Tonga. Sedangkan mereka yang menggunakan marga Daulae adalah kemungkinan mengambil nama marga tersebut dari nama anak Parmato Sopiak yang bernama Si Lai. Sedangkan mereka yang menggnnakan marga Matondang kemungkinan mengambil nama putera Parmato Sopiak yang bemama Si Tondang.

Berbeda dari kisah yang telah diungkapkan di atas, Mangaradja Ihoetan mengatakan bahwa Matondang keturunan Nasibuan. (Mangaradja Ihoetan 1926 : 61). Tentang hal ini tidak diberinya keterangan lebih lanjut. Yang kita ketahui ialah bahwa orang-orang bermarga Hasibuan (bukan Nasibuan) mendiami daerah Barumun. Dan menurut kisah yang kita ungkapkan terdahulu, Parmato Sopiak memang berdiam di daerah tersebut, yaitu di Binabo. Di daerah Barumun memang banyak dahulu berkuasa raja-raja bermarga Hasibuan. Barangkali karena itulah maka Mangaraja Ihoetan mengatakan Matondang keturunan Nasibuan. Dalam hubungan ini dapat kita ingat bahwa Matondang adalah keturunan Si Tondang, yaitu anak dari Parmato Sopiak yang pernah berdiam di Binabo.

Pada bagian terdahulu sudah dikemukakan bahwa Datu Bitcu mempunyai seorang puteri bernama Si Sambilan Deges. Sampai sekarang masih hidup satu kisah tragis tentang puteri cantik ini.

Menurut kisahnya, setelah berada di Pagaran Tonga, puteri Si Sambilan Deges belum juga mendapat pinangan. Secara diam-diam ia berharap akan dipinang oleh Raia Dandani Lubis dari Roburan yang telah kematian isterinya. Tetapi ternyata kemudian Raja Dandani Lubis memperisteri puteri Sang Hiyang Dipertuan raja Huta Siantar. Melihat kenyataan ini puteri Si Sambilan Deges kecewa sekali. Kekecewaannya semakin bertambah karena meskipun sudah lama menunggu ternyata tidak ada juga putera bangsawan bermarga Lubis yang datang meminangnya. Hal ini terjadi karena puteri Si Sambilan Deges difitnah orang sebagai seorang perempuan yang luar biasa pelitnya.

Dalam menghadapi kenyataan yang sangat pahit itu, rupa-rupanya puteri Si Sambilan Deges terbawa arus putus asa. Dan akhirnya ia menempuh jalan nekad, membunuh diri dengan melompat ke dalam rawa-rawa (ombik). Menurut celita, sebelum puteri Si Sambilan Deges melompat ke dalam rawa, ia terlebih dahulu mengucapkan sumpah yang menyatakan agar dikemudian hari jangan ada lagi keturunan keluarganya yang cantik parasnya seperti dia.

Ada orang yang percaya, bahwa karena sumpah puteri Si Sambilan deges itulah maka dikemudian hari kalau ada puteri bermarga Batu Bara yang cantik parasnya, dibalik kecantikannya itu selalu ada cacatnya, berupa cacat fisik.

Persawahan yang kini terdapat di sekitar rawa-rawa tempat puteri Si Sambilan Deges dahulu membunuh diri bernama “Saba Matondang“ (Sawah Matondang). Nama tersebut dikaitkan dengan nama puteri tersebut yaitu Boru Matondang Na Sambilan Deges. Dan tempat tersebut sampai sekarang dianggap sebagai satu tempat yang angker.


Disalin dari buku “KISAH ASAL USUL MARGA DI MANDAILING” terbitan Yayasan Pengkajian Budaya Mandailing (YAPEBUMA) Tahun 1986; Medan ; Hal 42-25

Post a Comment

Previous Post Next Post