Barangkali anda akan bertanya-tanya kenapa orang-orang Siregar di Sipirok lebih suka disebut dengan turunan Siregar Salak? Saya mencoba mencari tahu ... jawaban yang paling sering kita dengarkan adalah "Siregar Salak na dihandang durina - artinya Siregar Salak yang dikandangi duri".
Begitulah sejarah berlalu dan hilang begitu saja tanpa jejak hanya dalam beberapa generasi, karena mereka tidak pernah sekolah dan tidak memerlukan sejarah. Peradaban tinggi akan dihilangkan begitu saja oleh peradaban baru yang menguasainya dan mereka akan berusaha menulis ulang sejarah sehingga hilang tanpa jejak. Sama halnya dengan peradaban Islam yang begitu adiluhung di Spanyol sebelum abad-16 yang membawa peradaban modern ke Eropah yang waktu itu adalah manusia barbar yang suka berperang dan saling menindas. Menyebarkan ilmu pengetahuan dan peradaban kesetaraan yang diusung oleh Islam ... namun sekarang seolah tidak ada peradaban Islam di Spanyol karena dibantai oleh orang-orang Eropah yang mempunyai peradaban kepatuhan seperti yang diusung oleh Romawi kuno.
Sejak abad sebelum Masehi sudah ada lembaga kerajaan Sorimangaraja yang dibangun oleh turunan Ompu Raja Debata di Sianjur Mula-Mula yang merupakan konfederasi Sriwijaya sebuah kerajaan Melayu Tua yang berkuasa di pulau Sumatera. Sekitar abad-12, kemudian merosot dan mundur dengan hancurnya Sriwijaya karena diserang oleh Rajendra Cola dari Tanjore - India Selatan. Kemudian di zaman Sorimangaraja-90 dari marga Sagala terjadi percekcokan karena pemberontakan kelompok Isumbaon dari Marga Manullang. Waktu itu dua tokoh penting yang berjasa memadamkan pemberontakan adalah waktu itu Ompu Sorba Dibanua (Singamangaraja-I atau Balige Raja) dari Bakkara, merupakan menantu dari Dinasty Pasaribu dari Hatorusan dan Togar Natigor Siregar pemangku Ampu Patih Raja (Ompu Palti Raja) adalah menantu dari Sorimangaraja dari Dinasty Sagala di Sianjur Mula-Mula, Salak, Dairi.
Togar Natigor tetap bersikukuh untuk mengembalikan lembaga tertinggi ke Sorimangaraja, namun berselisih paham dengan pihak Bakkara sehingga terjadi percekcokan antara Siregar dengan pihak Isumbaon yang berkepanjangan, sampai 10 turunan selama lebih 300 tahun. Dari zaman Togar Natigor Siregar sampai zaman Onggang Siregar (Paderi - 1812) atau dari SiSingamangaraja-1 sampai dengan Singamangaraja-10. Dalam percekcokan tersebut Ja Porkas Siregar (abang dari Togar Natigor) tewas, kemudian Togar Natigor bersumpah akan membalas dendam tersebut dan beliau pun migrasi ke Sabatangkayu, Padang Bolak.
Togar Natigor Siregar meninggalkan keluarganya di daerah Salak (Sianjur Mula-Mula). Istrinya boru Sagala merupakan putri Sorimangaraja dan mempunyai seorang anak bernama Ja Nabenggar Siregar kemudian disebut Raja Salakkan. Di kemudian hari keluarga Sorimangaraja juga migrasi ke daerah Selatan, Ja Nabenggar dan ibunya juga ikut bermigrasi.
Di kemudian hari beliau pergi menemui Togar Natigor ke Sabatangkayu, namun dia menemukannya sudah kawin lagi dengan boru Gultom dengan 4 orang anak yaitu Sormin, Dongoran, Silali dan Siagian.
Dan akhirnya Ja Nabenggar pun membangun kerajaan Siregar Salak di kaki Gunung Sibual-Buali tepatnya di Lobu Hasona dekat Pagaran Julu, Sipirok. Karena mereka adalah Siregar yang bermigrasi dari daerah Salak Dairi, maka dia menyebut dirinya Raja Salakkan dan semua turunanya dipanggil dengan Siregar Salak. Keluarga Siregar Salak selama ratusan tahun sangat menghargai keluarga Sagala (Sorimangaraja) sebagai Raja Batak yang sebenarnya dan itu di dukung oleh kelompok marga Borbor terutama marga Pulungan di seluruh Angkola dan juga marga Harahap dan Lubis. Kelompok marga-marga ini sanagt dekat sampai hari ini.
Menurut catatan penulis semua pemangku Raja Siregar Salak kawin dengan boru Sagala dari keluarga Sorimangaraja: Togar Natigor-Raja Salakkan-Raja Junjungan-Datu Nahurnuk-Sahala Raja (Ompu Palti Raja)-Ompu Raja Parlindungan-Ompu Darondong-Sutan Parlindungan-Raja Dongoran (Ompu Doro)-Onggang Siregar. Saking kecintaan terhadap keluarga Sorimangaraja di zaman Ompu Sahala Raja, keluarga Sagala dipindahkan dari Rimba Soping ke Sampean-Sipirok dan kemudian oleh Raja Dongoran Siregar (Ompu Doro) juga memindahkan pusat pemerintahan Siregar Salak dari Lobu Hasona ke Bungabondar sehingga dekat dengan Sampean. Dan sampai hari ini orang-orang Siregar Salak masih percaya bahwa mora itu pembawa kesuburan, sehingga sangat menghargai pihak mora yang ada dalam struktur filsafat DALIAN NATOLU (3 sisi kehidupan).
Apa nama kerajaan Siregar Salak di Angkola? Sesuai dengan kepercayaan marga Siregar sejak dari Dairi selalu menamai kerajaannya dengan nama Baringin, hal ini bisa dicek ke semua penjuru tanah Batak.
Di daerah Sipirok mereka menamainya dengan "Baringin Tumburjati" yang berpusat di Lobu Hasona dekat Pagaran Julu kemudian sekitar 1700-an dipindahkan oleh Raja Dongoran Siregar (Ompu Doro) ke Bungabondar.
"Baringin" adalah nama teritory yang biasa digunakan oleh keluarga Siregar sebagai nama kota/huta utamanya. Baringin (pohon beringin) merupakan pohon yang sangat rindang, kokoh, tinggi menjulang tinggi ke langit dan umurnya bisa sampai ratusan tahun sampai beberapa generasi dan dipercaya sebagai tempat persinggahan roh-roh nenek moyang sebelum naik-turun ke Banua Ginjang.
"Tumburjati", dipercaya merupakan pohon kehidupan yang terasa rindang bagi semua penghuni Banua Ginjang atau kahyangan (Dunia Atas atau Dunia Debata/Tuhan)g, taman tersembunyi yang menyimpan hal-hal rahasia dan gaib, yang kelihatan selalu ramai seperti ranting dan daunnya. Di sanalah mereka mendapat pengetahuan atas berbagai hal, termasuk kodrat masing-masing. Kalau daun Tumburjati gugur, semua penghuni kahyangan langsung dapat mengartikannya. Daun-daunnya yang menangkup ke lapis langit pertama dan tertinggi seakan memohon agar tidak gugur sebelum waktunya. Namun ada kalanya dari daun termuda terpaksa jatuh bersama ranting yang patah. Di puncak ketinggian pohon kehidupan itu hinggap seekor unggas bernama Manuk/ayam Hulambujati. Tidak terbayangkan ketinggian pohon kehidupan itu. Sehingga ada kalanya nama pohon itu disebut Hariara Sundung di Langit, yang artinya beringin yang condong di langit. Manuk Hulambujati tentu selalu hinggap di puncaknya pada waktu-waktu tertentu; di suruh atau tidak. Namun unggas itu adalah induk tiga telur besar yang pernah mengandung Batara Guru serta dua dewa lain yang bernama Debata Sori dan Mangalabulan. Suatu ketika juga Manuk Hulambujati bersedia mengeramkan tiga telur lagi; kelak yang dikandungnya adalah pasangan ketiga sang dewa. Simbol Ayam/Manuk ini sering di letakkan di atas atap rumah orang-orang Batak yang masih percaya dengan sinkretisme tersebut.
Jadi, "Baringin Tumburjati" merupakan simbol yang menjembatani antara kehidupan dunia dan kehidupan Ketuhanan menunjukkan bahwa dahulu kala orang-orang marga Siregar Salak di daerah ini sangat suka dengan hal-hal religius dan ritualitas yang populer dalam turunan Tetea Bulan.
THANKS ....
Post a Comment