Yang akan saya jelaskan , Sebagaimana juga tulisan-tulisan saya terdahulu- adalah analisis mengenai latar belakang, mengapa peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi. Demikian juga akibat dan pengaruh dari peristiwa-peristiwa tersebut, seperti ‘Pemboman Inggris atas Surabaya, November 1945’, ‘Serangan Umum 1 Maret 1949’, ‘Pembantaian di Rawagede’, dll.
Judul tulisan ini dapat diganti, misalnya : “Aksi Polisional Belanda. Agresi Militer Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat.” “Teror Westerling di Sulawesi Selatan. Agresi Militer Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat”, dsb. Namun esensi dari isinya sama, yaitu menerangkan latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, dan kaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Karena dapat dikatakan, bahwa tidak ada satu peristiwapun yang berdiri sendiri.
Juga dampak yang ditimbulkan diakibatkan oleh suatu peristiwa, tidaklah hanya masalah hukum saja, atau hanya masalah politik Luar Negeri, atau hanya masalah ekonomi, atau hanya masalah HAM, dll. Untuk dapat meneropong sesuatu peristiwa sejarah, juga diperlukan pendekatan multidisipliner, karena kalau hanya dengan menggunakan pendekatan sejarah, tidak akan terungkap masalah-masalah hukum internasional, dampak perekonomian yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut –seperti kasus pembantaian 431 penduduk laki-laki usia produktif di desa Rawagede-, dll.
Akar dari semua permasalahan yang ada di Republik Indonesia sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah, Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17.8.1945. Di Indonesia, ternyata sangat banyak yang tidak mengetahui, bahwa Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” (souvereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dari sudut pandang Belanda, ini merupakan “hadiah” untuk Indonesia. Yang dilakukan pada 27.12.1949 bukanlah PENGAKUAN KEMERDEKAAN, melainkan PELIMPAHAN KEWENANGAN (transfer of sovereignty), karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Nederlands Indië (India Belanda).
Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, sebelum berangkat ke Indonesia, menteri Luar negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini (tanggal 15.8.2005) pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Dalam pidatonya di Jakarta pada 16.8.2005 di kantor Kemlu RI, Ben Bot mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Dan dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta, Ben Bot mengatakan, bahwa pelimpahan kewenangan (transfer of sovereignty) telah diberikan pada akhir tahun 1949.
RIS, yang dipandang sebagai kelanjutan dari Nederlands Indië (India Belanda), dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, Negara yang secara yuridis diakui oleh pemeritah Belanda sudah tidak ada, dan Belanda sekarang berhubungan dengan Republik Indonesia, yang kemerdekaannya adalah 17.8.1945.
Memang untuk pemerintah Belanda sangat dilematis, yaitu apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, karena dengan demikian Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang mereka namakan sebagai “aksi polisional” tak lain adalah agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka. Akibatnya, para veteran Belanda akan menjadi penjahat perang, dan pemerintah Indonesia berhak menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda. Juga semua kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, bukan hanya pelanggaran HAM berat, melainkan juga merupakan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi.
Banyak peristiwa yang terjadi selama perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yang hingga sekarang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia sendiri. Terutama yang sehubungan dengan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia,
Demikian juga berbagai kejahatan atas kemanusiaan, pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Jepang selama masa pendudukan Jepang di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda) antara tahun 1942 – 1945, juga samasekali tidak diketahui oleh rakyat Indonesia, seperti pembantaian di kamp konsentrasi di kecamatan Mandor, Kalimantan Barat, percobaan kedokteran (medical experiments) Unit 731 tentara Jepang, kanibalisme tentara Jepang terutama di Papua, dll.
Dengan dibentuknya International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag oleh PBB tahun 2001, Indonesia diberikan landasan hukum internasional untuk membawa semua kasus-kasus tersebut ke Mahkamah Kejahatan internasional.
Dalam Statuta Roma, yang menjadi landasan International Criminal Court (ICC), empat jenis kejahatan dinyatakan tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
Genocide (pembantaian etnis),
War crime (kejahatan perang),
Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan), dan
Crime of aggression (kejahatan agresi).
Latar Belakang Sejarah
Perang Dunia di Eropa pecah pada bulan September 1939, dan di Asia, yang kemudian dikenal sebagai Perang Pasifik, dimulai dengan penyerangan tentara Jepang terhadap pangkalan tentara Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Satu persatu negara-negara di Asia Tenggara yang waktu itu adalah jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.
Penyerbuan tentara Jepang ke Asia tenggara diakhiri dengan penyerbuan ke pulau Jawa pada 1 Maret 1942. Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang.
Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda. Berakhir sudah hak Belanda atas jajahan yang diperolehnya berdasarkan hukum rimba, yaitu siapa yang kuat, memangsa yang lemah. Belanda kalah kuat melawan agresi Jepang, dalam mempertahankan mangsanya/ jajahannya.[1]
Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik Indonesia, diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan agresi militernya kedua yang dimulai pada 19 Desember 1948. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:
“…Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa masalah Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral ...
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya ...
… Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...
... Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia...
... Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan...”
Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu (allied forces). Pernyataan ini sekaligus menandai berakhirnya Perang Pasifik, yang juga berarti berakhirnya Perang Dunia II yang dimulai di Eropa tahun 1939. Sebelumnya, pada 5 Mei 1945 Jerman menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, yang menandai berakhirnya perang di Eropa.
Pemerintah India Belanda dan kekuasaan Belanda di Bumi Nusantara telah berakhir pada 9 Maret 1942, dan kemudian Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945, di atas kapal perang Amerika Serikat ‘Missouri’ di Tokyo Bay, sehingga terjadi vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termasuk Nederlands Indië (India Belanda).
Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945[2]
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di wilayah pendudukan Jepang, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus Komite Nasional Indonesia Pusat mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.
Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo, yaitu:
Adanya penduduk yang permanen,
Adanya wilayah tertentu,
adanya pemerintahan, dan
Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.
Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l. (teks lengkap, lihat lampiran):
ARTICLE 1
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.
Ayat tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa keabsahan tersebut tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya.
Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda pada 21 Juli 1947 melancarkan agresi militernya yang pertama terhadap Republik Indonesia yang telah diakui de facto oleh Belanda, keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.
Political will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, hal ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut:[3]
“ A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.”
Pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut di kabinet Wilson. Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945. Pernyataan Woodrow Wilson tahun 1918 diulang dan diperkuat dalam Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat F. D. Roosevelt bersama Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada 14 Agustus 1941, di awal Perang Dunia II.
Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan:[4]
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”
Butir tiga ini kemudian dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of people …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).
Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua dalam preamble (pembukaan) piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:[5]
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”
Ratu Belanda Wihelmina sendiri, dalam pidato radio yang disampaikan di tempat pengasingan di London pada 7 Desember 1942 (setelah tentara Jerman menduduki Belanda bulan Mei 1941) mendukung gagasan Atlantic Charter tersebut.[6]
Penetapan batas negara dinyatakan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang dinamakan Nederlands Indië. Penetapan ini juga berdasarkan kesepakatan internasional, Uti possidetis iuris, yaitu seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh penguasa sebelumnya, dikuasai oleh penguasa penerusnya.)
Bangsa Indonesia adalah bangsa terjajah pertama yang menyatakan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai. Setelah itu menyusul bangsa Vietnam, yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September 1945.
Berdirinya Tentara Republik Indonesia
Pada 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk suatu badan yang dinamakan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP); di dalam tubuh BPKKP, dibentuk organisasi yang dipersenjatai, yang dinamakan Badan Keamanan Rakyat. Memang sesuatu yang unik, yaitu organisasi bersenjata berada di dalam tubuh suatu organisasi sosial.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan agar pihak Sekutu tidak mencurigai bahwa Badan Keamanan Rakyat (BKR) merupakan suatu kekuatan militer, maka diputuskan, bahwa BKR adalah bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).
Setelah dikeluarkan pengumuman mengenai pembentukan KNIP dan BKR, segera dikeluarkan seruan, agar di daerah-daerah di seluruh Indonesia dibentuk Komite Nasional Indonesia-Daerah (KNI-D) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 23 Agustus Presiden Sukarno menyerukan kepada semua bekas Peta dan Heiho untuk menggabungkan diri ke dalam BKR. Sejak itu, di seluruh wilayah bekas India Belanda dibentuklah Komite Nasional Indonesia-Daerah dan BKR. Pembentukan BKR banyak dipelopori oleh mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Seinendan, keibodan, bekas KNIL, dan tokoh-tokoh masyarakat serta para intelektual.
Pada awalnya, pembentukan pasukan/laskar pemuda tidak terkendali. Berbagai kelompok yang mendirikan laskar juga berhasil memperoleh persenjataan yang direbut dari tentara Jepang. Beberapa komandan pasukan Jepang yang bersimpati kepada Republik Indonesia menyerahkan secara sukarela persenjataan mereka, tetapi di banyak tempat, persenjataan itu direbut, bahkan melalui pertempuran sengit yang menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak.
Pimpinan Republik melihat perlu adanya tentara reguler dengan garis komando yang jelas dan terkendali. Presiden Sukarno menugaskan mantan mayor KNIL, Urip Sumoharjo,[7] menyusun konsep tentara reguler tersebut. Pada 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengumumkan berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Nama Tentara Keamanan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian tanggal 7 Januari 1946 diganti menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan akhirnya tanggal 3 Juli 1947 menjadi TNI -Tentara Nasional Indonesia, hingga sekarang.
Pada tahun 1948, dalam rangka reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI diputuskan, bahwa semua laskar harus dilebur ke dalam TNI. Kepangkatan juga disesuaikan dengan wewenang yang dimiliki oleh seseorang. Boleh dikatakan, semua perwira dan bintara mengalami pernurunan pangkat, karena sebelum itu, semua orang yang memiliki anak buah, menentukan pangkatnya sendiri; bahkan tidak tanggung-tanggung, banyak yang mengangkat dirinya menjadi Mayor Jenderal atau Laksamana.
Rivalitas antara mantan perwira KNIL dan mantan perwira Peta, telah terlihat sejak awal pembentukan TKR, terutama dalam pemilihan komandan dan pimpinan. Walaupun jumlah keseluruhan mantan perwira KNIL jauh di bawah mantan perwira Peta, namun dalam jabatan pimpinan, jumlah mantan perwira KNIL yang kemudian menjadi pimpinan di tubuh TNI cukup menonjol. Tanggal 12 November 1945[8] di Yogyakarta, diadakan rapat pimpinan tertinggi militer, yang dihadiri oleh hampir seluruh komandan Divisi, kecuali pimpinan militer dari Jawa Timur, yang sedang bertempur melawan tentara Inggris. Secara demokratis diadakan pemilihan Panglima Besar Angkatan Perang. Kolonel Sudirman, Komandan Divisi V (Kedu-Banyumas) menang suara tipis atas Urip Sumoharjo, dengan demikian Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sudirman, waktu itu berumur 30 tahun, adalah mantan Daidancho (komandan batalyon) Peta di Kroya.
Walau pun tentara Jepang telah melucuti persenjataan yang telah mereka berikan kepada satuan-satuan Peta dan Heiho, namun sejak diumumkan pembentukan KNI-D dan BKR, tokoh-tokoh pemuda/masyarakat di berbagai kota dan daerah di Indonesia mulai mengambil alih kepemimpinan, baik pemerintahan sipil maupun militer.
Setelah Jepang secara resmi menandatangani kapitulasi pada 2 September 1945, pada 10 September 1945 pemerintahan militer Jepang di Indonesia menyatakan, bahwa mereka akan menyerahkan wewenang kepada tentara Sekutu, dan tidak kepada Pemerintah Republik Indonesia. Langkah ini mengakibatkan rasa permusuhan terhadap Jepang bangkit kembali dan mulai timbul ketegangan antara rakyat Indonesia dengan tentara Jepang, sedangkan tentara Sekutu belum datang di Indonesia. Ketidakpercayaan rakyat kepada tentara Jepang bermuara pada pengambilalihan pemerintahan serta perebutan senjata dari tentara Jepang.
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai adalah perwira Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Bali, yang memimpin Pasukan Ciung Wanara.
Agresi Militer Belanda Dibantu Inggris dan Australia
Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, dan berusaha menjajah kembali. Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak lagi memiliki angkatan perang yang kuat. Angkatan perangnya di Belanda dihancurkan oleh tentara Jerman dalam waktu tiga hari, dan di India Belanda, tentara KNIL dihancurkan oleh tentara Jepang.
Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia.
Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang-orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Kolonel Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo, yang kemudian memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville.
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC berada di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan India.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas India Belanda –Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.- berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Supreme Commander South West Pacific Area Command – SWPAC (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya).
Pada 15 Agustus 1945 dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglimaSouth West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Pada hari itu juga, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.
Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan Pemerintah Belanda –termasuk van Mook dan kawan-kawan yang mendengar melalui radio di Australia.
Setelah perang di Eropa usai dengan menyerahnya Jerman pada 8 Mei 1945, fokus kekuatan tempur tentara Sekutu dialihkan ke Perang Pasifik untuk menghadapi Jepang. Walau pun tanggal 11 Februari 1945 di Yalta telah disepakati ikutsertanya Uni Sovyet dalam perang melawan Jepang, namun Amerika Serikat berusaha mencegah terulangnya pemberian konsesi kepada Uni Sovyet seperti di Eropa, di mana mereka praktis membagi Eropa dan Jerman menjadi dua bagian, yaitu Eropa Barat dan Berlin Barat di bawah pengaruh kapitalisme Barat dan Eropa Timur serta Berlin Timur, di bawah pengaruh komunis Uni Sovyet. Pasukan Uni Sovyet telah memasuki Korea bagian utara dan bersiap-siap untuk memulai menyerang Jepang dari arah utara.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada Komando Asia Tenggara di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.
Setelah penyerahan wewenang dari Panglima Tertinggi South West Pacific Area Command atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda kepada South East Asia Command (SEAC) di bawah Lord Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya adalah[9]:
“Nota tanggal 24 Agustus 1945
Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Netherlands Indies (India Belanda) yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”
dto. Ernest Bevin
(Menteri Luar Negeri Inggris – pen)
Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu, perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum India Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah India Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah India Belanda. Bila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan India Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan India Belanda akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di India Belanda.
Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil dministration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda.
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan ini diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting adalah butir tiga yaitu “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri” (Right for selfdetermination of people)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan. Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.
Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara) ditugaskan untuk melaksanakan perjanjian Chequers tersebut. Dia menyatakan memerlukan enam divisi untuk pelaksanaan tugasnya. Karena hanya tersedia tiga British Indian Divisions di bawah komandonya, maka dia dibantu oleh dua divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie (Ming the merciless) Morsehead.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. Melucuti tentara Jepang dan memulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. merehabilitasi para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees),
3. serta menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun ternyata ada agenda rahasia (hidden agenda) dalam tugas yang diberikan kepada pasukan Inggris yang mewakili tentara Sekutu, yaitu melaksanakan persetujuan Chequers seperti telah disebutkan di atas. Akibat perjanjian ini, maka dalam pelaksanaannya, untuk “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, tentara Inggris dan Australia telah banyak melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta kejahatan agresi, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Di Surabaya saja, selama pertempuran 28/29 Oktober, dan pemboman kota Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu pada bulan November, korban jiwa diperkirakan lebih dari 20.000.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“...Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese...”
Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena sehari setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Isi perintah Mountbatten sebagai berikut:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.(3)
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“...In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services...”
dan kalimat berikutnya:
“…the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion...”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer. Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan satu brigade pasukan tempur.
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945, yang mengalami kehancuran total dalam pertempuran dahsyat di Surabaya pada 28-29 Oktober 1945, dan juga kemudian mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, perwira tinggi Inggris pertama yang tewas dalam perang.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941. Juga belum diketahui adanya perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers pada 24 Agustus 1945, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta, bahwa Tentara Sekutu hanya akan menjalankan tugas-tugas kemiliteran, telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya, namun dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh siasat Inggris dan Belanda.
Jalan sejarah mungkin akan menjadi lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi Inggris -British-Indian Divisions- dengan persenjataan lengkap dan moderen telah mendarat di Jawa dan Sumatera, dan dua Divisi Australia dapat sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya ke timur.
Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat lebih dari 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara ke 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Untuk mengganti tentara Inggris dan Australia yang ditarik dari Indonesia akhir tahun 1946, Belanda mengirim lebih dari 150.000 tentara dari Belanda (KL - Koninklijke Landmacht), dan merekrut sekitar 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Landmacht).
“Jasa” Australia kepada Belanda di Indonesia Timur tahun 1945/1946
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morshead, yang mungkin karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Jenderal MacArthur menugaskan Morshead untuk menyerbu pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh Pulau Tarakan berakhir.
Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu.
Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa. Tanggal 8 September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir dengan parasut di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Pada hari itu, Kapten Nakamura memberikan informasi kepada Letnan Kolonel van der Post, bahwa 4 orang parasutis telah mendarat di bandar udara Kemayoran dan langsung dibawa ke Hotel des Indes. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, dua orang prajurit Inggris dan tiga orang prajurit Belanda. Mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan baru yang canggih untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Peralatan tersebut segera dipasang di markas Letkol van der Post. Pada petang hari itu juga telah terjalin kontak langsung dengan Markas Besar Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara di Kandy, Sri Lanka.
Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the Relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal sebagai Recovery of Allied Prisoners of War and Internees - RAPWI.
Tanggal 15 September 1945, Rear Admiral Sir Wilfred R. Patterson dengan kapal perang H.M.S. Cumberland berlabuh di Jakarta. Petinggi Belanda yang ikut bersama Patterson di kapal tersebut adalah van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur sewaktu pemerintahan India Belanda, yang kini mewakili NICA dan sejumlah orang Belanda, yang merupakan pejabat tinggiCivil Affairs.
Pada 18 September 1945, beberapa staf RAPWI diterjunkan dengan payung di Gunungsari, Surabaya. Mereka ditugaskan untuk berhubungan dengan para interniran Belanda dan Sekutu. Oleh Jepang, tim RAPWI ditempatkan di Hotel Yamato (Oranje), di Tunjungan, tanpa persetujuan pimpinan Republik Indonesia.
Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders (Batalyon Seaforth Highlanders termasuk resimen yang lebih dari 200 tahun lalu, telah mengharumkan namanya dalam operasi melawan Perancis dan Perancis- Belanda di Jawa di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles) dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 43 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Setelah memperoleh informasi dari perwira-perwira Inggris yang berada di Jakarta, Lord Mountbatten mengemukakan kebijakan baru yang akan dilakukannya di Indonesia, yaitu:
“Gagasan kami satu-satunya adalah membuat Belanda dan Indonesia saling berciuman dan kemudian mengundurkan diri.”
Kebijakan ini jelas sangat berbeda dengan surat perintah yang telah dikeluarkannya pada 2 September 1945, sehari setelah kedatangan van Mook dan van der Plas di Markas Besarnya di Kandy, Sri Lanka. Nampaknya sejalan dengan kebijakan baru dari Mountbatten tersebut, sebelum berangkat ke Jakarta, di Singapura Letnan Jenderal Christison membuat pernyataan di muka pers yang kemudian menjadi sangat kontroversial. Anderson mencatat:
"...Christison mengatakan, bahwa Inggris mempunyai tiga tujuan di Indonesia:
- untuk melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang Sekutu dan tawanan-tawanan lainnya;
- melucuti dan mengembalikan Jepang, dan
- memelihara hukum dan ketertiban.
Angkatan Darat Jepang ke 16 akan bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri di daerah-daerah yang tidak diduduki Sekutu, sampai
“pengaturan-pengaturan tercapai bagi pejabat-pejabat setempat untuk mengambilalihnya. Kemudian Jepang akan dilucuti …
…Inggris tidak mempunyai maksud untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri, melainkan hanya untuk menjamin hukum dan ketertiban.”
Christison juga meminta kepada pemimpin-pemimpin Indonesia supaya memperlakukan dia dan pasukannya sebagai tamu-tamu. Selanjutnya dia juga mengatakan: “Pasukan Inggris tidak akan bergerak di luar daerah-daerah pendudukan yang telah ditetapkan, yaitu Batavia (Jakarta), Surabaya, Medan dan Padang, untuk maksud apapun…"
Tentu pernyataan ini –yang membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia- menggoncangkan para petinggi Belanda, baik yang di Belanda, maupun yang telah berada di Indonesia karena mereka menilai, dengan pernyataan Christison tersebut, Inggris bermaksud tidak akan memenuhi perjanjian Chequers dan hasil keputusan Konferensi Yalta serta Deklarasi Potsdam, mengenai pengembalian situasi kepada status quo di Asia, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1942. Reaksi keras dari Pemerintah Belanda membuat Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan, bahwa Inggris tidak bermaksud untuk keluar dari perjanjian –Civil Affairs Agreement- yang telah ditandatangani di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.
Mengenai sepak-terjang tentara Australia dalam membantu Belanda “membersihkan” wilayah timur Indonesia, Anthony Reid mencatat:
“...Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
- di Kupang tanggal 11 September 1945,
- di Banjarmasin tanggal 17 September,
- di Makasar tanggal 21 September,
- di Ambon tanggal 22 September,
- di Manado tanggal 2 Oktober,
- di Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda...”
Setelah tentara Australia menguasai Bali, maka pada 2 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.
Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL yang terdiri dari beberapa ratus orang tentara.
Sementara itu, pada bulan Juni/Juli 1946, timbul konflik internal Republik Indonesia, dan Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh tentara Australia.
Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik.
Di tengah-tengah kemelut internal Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 secara resmi pimpinan tentara Australia “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Belanda tidak berlama-lama menunggu, dan pada 16 – 25 Juli 1946, van Mook menggelar “Konferensi Malino”, satu kota kecil di sebelah utara Makassar, yang dihadiri oleh 39 orang “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.
Di Konferensi Malino ini diletakkan dasar untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT), yang akan disempurnakan dalam Konferensi besar di Denpasar pada bulan Desember 1946.
Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia, tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan. Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.
Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado 14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda di Makassar. Sejak itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28 Februari 1947, dan –di tengah-tengah perundingan Konferensi Meja Bunda di Den Haag, Belanda- dieksekusi pada 5 September 1949.
Perlawanan rakyat Indonesia Timur, terutama di Sulawesi dan Bali sangat hebat, sehingga Belanda mengirim pasukan elit Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Westerling ke Sulawesi Selatan. Westerling menjalankan aksi terror, yaitu dengan membantai ribuan penduduk sipil tanpa proses (standrechtelijkeexcecutie), untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat Indonesia.
Untuk memuluskan pelaksanaan Konferensi besar di Denpasar, maka Belanda “membersihkan” tentara Indonesia di Bali. Dalam rangka menguasai seluruh Bali, terjadilah peristiwa heroik Puputan Margarana, di mana Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai tewas bersama 95 anak buahnya.
Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000 orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia, sehingga ketika Inggris menarik seluruh tentaranya dari Jawa dan Sumatera pada 30 November 1946, tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda dengan kekuatan yang sama. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta, Deklarasi Potsdam dan perjanjian Chequers.
Demikian “jasa” Australia dan Inggris dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk bertempur.
Politik pemerintah Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1947, setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak mungkin dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tidak akan terjadi pembantaian ratusan rakyat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Westerling bersama anak buahnya di Sulawesi Selatan antara 11 Desember 1946 – Februari 1947, dan di tepat-tempat lain di Indonesia. Tidak akan terjadi peristiwa pembantaian di desa Rawagede, Kranggan, Gerbong Maut Bondowoso, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, Sumatera Barat, dll.
Apabila berpegang pada hukum kausalitas, yaitu hukum sebab-dan-akibat (bahasa Jerman: Ursache und Wirkung), maka yang harus ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembantaian terhadap ratusan ribu rakyat Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, adalah Inggris dan Australia!
Kesimpulan dalam sejarahnya :
Belanda tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bahkan sampai detik ini, 6 September 2014. Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu (Allied Forces), Belanda “merasa” masih memiliki hak atas wilayah yang pada 9 Maret 1942 telah diserahkan kepada predator baru: Jepang.
Klaim Belanda bahwa wilayah Nusantara adalah “provinsi seberang laut”, tidak memiliki landasan hukum internasional, atau landasan hukum apapun. Sampai tahun 1942, Negara-negara di seluruh dunia saling menyerang dan saling merebut wilayah, termasuk di Eropa. Beberapa Negara di Eropa sempat “hilang”, seperti Austria, Cekoslovakia, dll. Dapat dikatakan, sampai tahun 1942, yaitu ketika Jepang melancarkan agresi militernya untuk menduduki Negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, dianggap wajar, sehingga batas Negara selalu berubah-ubah. Juga dapat dikatakan, sampai tahun 1942, berlaku “hukum rimba”, yaitu siapa yang kuat, dia memangsa yang lemah.
Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberi legitimasi kepada satu Negara atau satu bangsa, untuk menjajah Negara lain, bahkan menjual manusia hasil perampokannya sebagai budak, sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda di bumi Nusantara selama lebih dari 200 tahun. Antara tahun 1640- 1862 ada Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda.
Sebagaimana disebut di atas, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki landasan hukum internasional, landasan politik dan landasan moral, serta sesuai dengan Anggaran Dasar Persertikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun Bangsa Indonesia masih harus berperang selama hampir lima tahun, untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Agresi militer Belanda –yang awalnya dibantu oleh Inggris dan Australia- di Indonesia berakhir dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan November 1949, di mana disepakati a.l.:
Dibentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian,
Dibentuk Uni Belanda – Indonesia, di mana Ratu Belanda adalah kepala Uni Belanda – RIS,
Integrasi mantan tentara KNIL ke dalam tubuh TNI,
RIS yang dipandang sebagai kelanjutan dari India belanda, harus menanggung utang India Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya dua agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948. Pemerintah RIS, dan kemudian setelah RIS dibubarkan, dilanjutkan oleh pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar gulden, dan dihentikan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia tahun 1956.
Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga dalam RIS Irian barta tidak termasuk sebagai bagian dari RIS. Karena Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada RI, maka akhir tahun 50-an, timbul konfrontasi antara RI dengan Belanda. Dengan difasilitasi oleh PBB, tahun 1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, yang hasilnya menetapkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Untuk pemerintah Belanda, yang diakui secara yuridis adalah RIS, di mana Irian Barat tidak termasuk di dalamnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, setelah berdiri pada 27 Desember 1949, 15 negara bagian dibubarkan atau membubarkan diri, dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Tahun 1956 melalui UU No. 13/1956, Pemerintah RI menyatakan pembatalan KMB dan pembatalan Uni Belanda – Indonesia. Salahsatu butir yang sangat merugikan pemerintah RI adalah adanya ketentuan, bahwa apabila ingin melakukan hubungan dengan negara lain, RI harus mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda.
Belanda meninggalkan jajahannya, India-Belanda, pada 9 Maret 1942 sebagai pecundang. Ketika Belanda datang ke Republik Indonesia –dengan dibantu tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia- Belanda datang ke satu Negara yang MERDEKA DAN BERDAULAT!
Oleh karena itu, yang dilakukan oleh tentara Inggris (Pemboman Surabaya November 1945, Pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa dan Bandung Lautan Api), tentara Australia di wilayah Indonesia Timur dan kemudian oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia, adalah agresi militer terhadap Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Judul tulisan ini dapat diganti, misalnya : “Aksi Polisional Belanda. Agresi Militer Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat.” “Teror Westerling di Sulawesi Selatan. Agresi Militer Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat”, dsb. Namun esensi dari isinya sama, yaitu menerangkan latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, dan kaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Karena dapat dikatakan, bahwa tidak ada satu peristiwapun yang berdiri sendiri.
Juga dampak yang ditimbulkan diakibatkan oleh suatu peristiwa, tidaklah hanya masalah hukum saja, atau hanya masalah politik Luar Negeri, atau hanya masalah ekonomi, atau hanya masalah HAM, dll. Untuk dapat meneropong sesuatu peristiwa sejarah, juga diperlukan pendekatan multidisipliner, karena kalau hanya dengan menggunakan pendekatan sejarah, tidak akan terungkap masalah-masalah hukum internasional, dampak perekonomian yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut –seperti kasus pembantaian 431 penduduk laki-laki usia produktif di desa Rawagede-, dll.
Akar dari semua permasalahan yang ada di Republik Indonesia sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah, Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17.8.1945. Di Indonesia, ternyata sangat banyak yang tidak mengetahui, bahwa Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” (souvereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dari sudut pandang Belanda, ini merupakan “hadiah” untuk Indonesia. Yang dilakukan pada 27.12.1949 bukanlah PENGAKUAN KEMERDEKAAN, melainkan PELIMPAHAN KEWENANGAN (transfer of sovereignty), karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Nederlands Indië (India Belanda).
Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, sebelum berangkat ke Indonesia, menteri Luar negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini (tanggal 15.8.2005) pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Dalam pidatonya di Jakarta pada 16.8.2005 di kantor Kemlu RI, Ben Bot mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Dan dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta, Ben Bot mengatakan, bahwa pelimpahan kewenangan (transfer of sovereignty) telah diberikan pada akhir tahun 1949.
RIS, yang dipandang sebagai kelanjutan dari Nederlands Indië (India Belanda), dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, Negara yang secara yuridis diakui oleh pemeritah Belanda sudah tidak ada, dan Belanda sekarang berhubungan dengan Republik Indonesia, yang kemerdekaannya adalah 17.8.1945.
Memang untuk pemerintah Belanda sangat dilematis, yaitu apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, karena dengan demikian Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang mereka namakan sebagai “aksi polisional” tak lain adalah agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka. Akibatnya, para veteran Belanda akan menjadi penjahat perang, dan pemerintah Indonesia berhak menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda. Juga semua kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, bukan hanya pelanggaran HAM berat, melainkan juga merupakan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi.
Banyak peristiwa yang terjadi selama perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yang hingga sekarang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia sendiri. Terutama yang sehubungan dengan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia,
Demikian juga berbagai kejahatan atas kemanusiaan, pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Jepang selama masa pendudukan Jepang di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda) antara tahun 1942 – 1945, juga samasekali tidak diketahui oleh rakyat Indonesia, seperti pembantaian di kamp konsentrasi di kecamatan Mandor, Kalimantan Barat, percobaan kedokteran (medical experiments) Unit 731 tentara Jepang, kanibalisme tentara Jepang terutama di Papua, dll.
Dengan dibentuknya International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag oleh PBB tahun 2001, Indonesia diberikan landasan hukum internasional untuk membawa semua kasus-kasus tersebut ke Mahkamah Kejahatan internasional.
Dalam Statuta Roma, yang menjadi landasan International Criminal Court (ICC), empat jenis kejahatan dinyatakan tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
Genocide (pembantaian etnis),
War crime (kejahatan perang),
Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan), dan
Crime of aggression (kejahatan agresi).
Latar Belakang Sejarah
Perang Dunia di Eropa pecah pada bulan September 1939, dan di Asia, yang kemudian dikenal sebagai Perang Pasifik, dimulai dengan penyerangan tentara Jepang terhadap pangkalan tentara Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Satu persatu negara-negara di Asia Tenggara yang waktu itu adalah jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.
Penyerbuan tentara Jepang ke Asia tenggara diakhiri dengan penyerbuan ke pulau Jawa pada 1 Maret 1942. Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang.
Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda. Berakhir sudah hak Belanda atas jajahan yang diperolehnya berdasarkan hukum rimba, yaitu siapa yang kuat, memangsa yang lemah. Belanda kalah kuat melawan agresi Jepang, dalam mempertahankan mangsanya/ jajahannya.[1]
Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik Indonesia, diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan agresi militernya kedua yang dimulai pada 19 Desember 1948. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:
“…Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa masalah Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral ...
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya ...
… Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...
... Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia...
... Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan...”
Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu (allied forces). Pernyataan ini sekaligus menandai berakhirnya Perang Pasifik, yang juga berarti berakhirnya Perang Dunia II yang dimulai di Eropa tahun 1939. Sebelumnya, pada 5 Mei 1945 Jerman menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, yang menandai berakhirnya perang di Eropa.
Pemerintah India Belanda dan kekuasaan Belanda di Bumi Nusantara telah berakhir pada 9 Maret 1942, dan kemudian Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945, di atas kapal perang Amerika Serikat ‘Missouri’ di Tokyo Bay, sehingga terjadi vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termasuk Nederlands Indië (India Belanda).
Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945[2]
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di wilayah pendudukan Jepang, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus Komite Nasional Indonesia Pusat mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.
Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo, yaitu:
Adanya penduduk yang permanen,
Adanya wilayah tertentu,
adanya pemerintahan, dan
Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.
Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l. (teks lengkap, lihat lampiran):
ARTICLE 1
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.
Ayat tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa keabsahan tersebut tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya.
Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda pada 21 Juli 1947 melancarkan agresi militernya yang pertama terhadap Republik Indonesia yang telah diakui de facto oleh Belanda, keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.
Political will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, hal ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut:[3]
“ A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.”
Pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut di kabinet Wilson. Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945. Pernyataan Woodrow Wilson tahun 1918 diulang dan diperkuat dalam Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat F. D. Roosevelt bersama Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada 14 Agustus 1941, di awal Perang Dunia II.
Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan:[4]
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”
Butir tiga ini kemudian dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of people …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).
Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua dalam preamble (pembukaan) piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:[5]
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”
Ratu Belanda Wihelmina sendiri, dalam pidato radio yang disampaikan di tempat pengasingan di London pada 7 Desember 1942 (setelah tentara Jerman menduduki Belanda bulan Mei 1941) mendukung gagasan Atlantic Charter tersebut.[6]
Penetapan batas negara dinyatakan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang dinamakan Nederlands Indië. Penetapan ini juga berdasarkan kesepakatan internasional, Uti possidetis iuris, yaitu seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh penguasa sebelumnya, dikuasai oleh penguasa penerusnya.)
Bangsa Indonesia adalah bangsa terjajah pertama yang menyatakan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai. Setelah itu menyusul bangsa Vietnam, yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September 1945.
Berdirinya Tentara Republik Indonesia
Pada 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk suatu badan yang dinamakan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP); di dalam tubuh BPKKP, dibentuk organisasi yang dipersenjatai, yang dinamakan Badan Keamanan Rakyat. Memang sesuatu yang unik, yaitu organisasi bersenjata berada di dalam tubuh suatu organisasi sosial.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan agar pihak Sekutu tidak mencurigai bahwa Badan Keamanan Rakyat (BKR) merupakan suatu kekuatan militer, maka diputuskan, bahwa BKR adalah bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).
Setelah dikeluarkan pengumuman mengenai pembentukan KNIP dan BKR, segera dikeluarkan seruan, agar di daerah-daerah di seluruh Indonesia dibentuk Komite Nasional Indonesia-Daerah (KNI-D) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 23 Agustus Presiden Sukarno menyerukan kepada semua bekas Peta dan Heiho untuk menggabungkan diri ke dalam BKR. Sejak itu, di seluruh wilayah bekas India Belanda dibentuklah Komite Nasional Indonesia-Daerah dan BKR. Pembentukan BKR banyak dipelopori oleh mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Seinendan, keibodan, bekas KNIL, dan tokoh-tokoh masyarakat serta para intelektual.
Pada awalnya, pembentukan pasukan/laskar pemuda tidak terkendali. Berbagai kelompok yang mendirikan laskar juga berhasil memperoleh persenjataan yang direbut dari tentara Jepang. Beberapa komandan pasukan Jepang yang bersimpati kepada Republik Indonesia menyerahkan secara sukarela persenjataan mereka, tetapi di banyak tempat, persenjataan itu direbut, bahkan melalui pertempuran sengit yang menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak.
Pimpinan Republik melihat perlu adanya tentara reguler dengan garis komando yang jelas dan terkendali. Presiden Sukarno menugaskan mantan mayor KNIL, Urip Sumoharjo,[7] menyusun konsep tentara reguler tersebut. Pada 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengumumkan berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Nama Tentara Keamanan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian tanggal 7 Januari 1946 diganti menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan akhirnya tanggal 3 Juli 1947 menjadi TNI -Tentara Nasional Indonesia, hingga sekarang.
Pada tahun 1948, dalam rangka reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI diputuskan, bahwa semua laskar harus dilebur ke dalam TNI. Kepangkatan juga disesuaikan dengan wewenang yang dimiliki oleh seseorang. Boleh dikatakan, semua perwira dan bintara mengalami pernurunan pangkat, karena sebelum itu, semua orang yang memiliki anak buah, menentukan pangkatnya sendiri; bahkan tidak tanggung-tanggung, banyak yang mengangkat dirinya menjadi Mayor Jenderal atau Laksamana.
Rivalitas antara mantan perwira KNIL dan mantan perwira Peta, telah terlihat sejak awal pembentukan TKR, terutama dalam pemilihan komandan dan pimpinan. Walaupun jumlah keseluruhan mantan perwira KNIL jauh di bawah mantan perwira Peta, namun dalam jabatan pimpinan, jumlah mantan perwira KNIL yang kemudian menjadi pimpinan di tubuh TNI cukup menonjol. Tanggal 12 November 1945[8] di Yogyakarta, diadakan rapat pimpinan tertinggi militer, yang dihadiri oleh hampir seluruh komandan Divisi, kecuali pimpinan militer dari Jawa Timur, yang sedang bertempur melawan tentara Inggris. Secara demokratis diadakan pemilihan Panglima Besar Angkatan Perang. Kolonel Sudirman, Komandan Divisi V (Kedu-Banyumas) menang suara tipis atas Urip Sumoharjo, dengan demikian Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sudirman, waktu itu berumur 30 tahun, adalah mantan Daidancho (komandan batalyon) Peta di Kroya.
Walau pun tentara Jepang telah melucuti persenjataan yang telah mereka berikan kepada satuan-satuan Peta dan Heiho, namun sejak diumumkan pembentukan KNI-D dan BKR, tokoh-tokoh pemuda/masyarakat di berbagai kota dan daerah di Indonesia mulai mengambil alih kepemimpinan, baik pemerintahan sipil maupun militer.
Setelah Jepang secara resmi menandatangani kapitulasi pada 2 September 1945, pada 10 September 1945 pemerintahan militer Jepang di Indonesia menyatakan, bahwa mereka akan menyerahkan wewenang kepada tentara Sekutu, dan tidak kepada Pemerintah Republik Indonesia. Langkah ini mengakibatkan rasa permusuhan terhadap Jepang bangkit kembali dan mulai timbul ketegangan antara rakyat Indonesia dengan tentara Jepang, sedangkan tentara Sekutu belum datang di Indonesia. Ketidakpercayaan rakyat kepada tentara Jepang bermuara pada pengambilalihan pemerintahan serta perebutan senjata dari tentara Jepang.
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai adalah perwira Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Bali, yang memimpin Pasukan Ciung Wanara.
Agresi Militer Belanda Dibantu Inggris dan Australia
Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, dan berusaha menjajah kembali. Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak lagi memiliki angkatan perang yang kuat. Angkatan perangnya di Belanda dihancurkan oleh tentara Jerman dalam waktu tiga hari, dan di India Belanda, tentara KNIL dihancurkan oleh tentara Jepang.
Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia.
Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang-orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Kolonel Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo, yang kemudian memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville.
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC berada di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan India.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas India Belanda –Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.- berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Supreme Commander South West Pacific Area Command – SWPAC (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya).
Pada 15 Agustus 1945 dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglimaSouth West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Pada hari itu juga, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.
Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan Pemerintah Belanda –termasuk van Mook dan kawan-kawan yang mendengar melalui radio di Australia.
Setelah perang di Eropa usai dengan menyerahnya Jerman pada 8 Mei 1945, fokus kekuatan tempur tentara Sekutu dialihkan ke Perang Pasifik untuk menghadapi Jepang. Walau pun tanggal 11 Februari 1945 di Yalta telah disepakati ikutsertanya Uni Sovyet dalam perang melawan Jepang, namun Amerika Serikat berusaha mencegah terulangnya pemberian konsesi kepada Uni Sovyet seperti di Eropa, di mana mereka praktis membagi Eropa dan Jerman menjadi dua bagian, yaitu Eropa Barat dan Berlin Barat di bawah pengaruh kapitalisme Barat dan Eropa Timur serta Berlin Timur, di bawah pengaruh komunis Uni Sovyet. Pasukan Uni Sovyet telah memasuki Korea bagian utara dan bersiap-siap untuk memulai menyerang Jepang dari arah utara.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada Komando Asia Tenggara di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.
Setelah penyerahan wewenang dari Panglima Tertinggi South West Pacific Area Command atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda kepada South East Asia Command (SEAC) di bawah Lord Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya adalah[9]:
“Nota tanggal 24 Agustus 1945
Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Netherlands Indies (India Belanda) yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”
dto. Ernest Bevin
(Menteri Luar Negeri Inggris – pen)
Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu, perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum India Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah India Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah India Belanda. Bila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan India Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan India Belanda akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di India Belanda.
Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil dministration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda.
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan ini diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting adalah butir tiga yaitu “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri” (Right for selfdetermination of people)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan. Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.
Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara) ditugaskan untuk melaksanakan perjanjian Chequers tersebut. Dia menyatakan memerlukan enam divisi untuk pelaksanaan tugasnya. Karena hanya tersedia tiga British Indian Divisions di bawah komandonya, maka dia dibantu oleh dua divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie (Ming the merciless) Morsehead.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. Melucuti tentara Jepang dan memulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. merehabilitasi para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees),
3. serta menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun ternyata ada agenda rahasia (hidden agenda) dalam tugas yang diberikan kepada pasukan Inggris yang mewakili tentara Sekutu, yaitu melaksanakan persetujuan Chequers seperti telah disebutkan di atas. Akibat perjanjian ini, maka dalam pelaksanaannya, untuk “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, tentara Inggris dan Australia telah banyak melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta kejahatan agresi, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Di Surabaya saja, selama pertempuran 28/29 Oktober, dan pemboman kota Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu pada bulan November, korban jiwa diperkirakan lebih dari 20.000.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“...Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese...”
Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena sehari setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Isi perintah Mountbatten sebagai berikut:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.(3)
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“...In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services...”
dan kalimat berikutnya:
“…the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion...”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer. Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan satu brigade pasukan tempur.
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945, yang mengalami kehancuran total dalam pertempuran dahsyat di Surabaya pada 28-29 Oktober 1945, dan juga kemudian mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, perwira tinggi Inggris pertama yang tewas dalam perang.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941. Juga belum diketahui adanya perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers pada 24 Agustus 1945, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta, bahwa Tentara Sekutu hanya akan menjalankan tugas-tugas kemiliteran, telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya, namun dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh siasat Inggris dan Belanda.
Jalan sejarah mungkin akan menjadi lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi Inggris -British-Indian Divisions- dengan persenjataan lengkap dan moderen telah mendarat di Jawa dan Sumatera, dan dua Divisi Australia dapat sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya ke timur.
Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat lebih dari 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara ke 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Untuk mengganti tentara Inggris dan Australia yang ditarik dari Indonesia akhir tahun 1946, Belanda mengirim lebih dari 150.000 tentara dari Belanda (KL - Koninklijke Landmacht), dan merekrut sekitar 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Landmacht).
“Jasa” Australia kepada Belanda di Indonesia Timur tahun 1945/1946
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morshead, yang mungkin karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Jenderal MacArthur menugaskan Morshead untuk menyerbu pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh Pulau Tarakan berakhir.
Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu.
Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa. Tanggal 8 September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir dengan parasut di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Pada hari itu, Kapten Nakamura memberikan informasi kepada Letnan Kolonel van der Post, bahwa 4 orang parasutis telah mendarat di bandar udara Kemayoran dan langsung dibawa ke Hotel des Indes. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, dua orang prajurit Inggris dan tiga orang prajurit Belanda. Mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan baru yang canggih untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Peralatan tersebut segera dipasang di markas Letkol van der Post. Pada petang hari itu juga telah terjalin kontak langsung dengan Markas Besar Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara di Kandy, Sri Lanka.
Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the Relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal sebagai Recovery of Allied Prisoners of War and Internees - RAPWI.
Tanggal 15 September 1945, Rear Admiral Sir Wilfred R. Patterson dengan kapal perang H.M.S. Cumberland berlabuh di Jakarta. Petinggi Belanda yang ikut bersama Patterson di kapal tersebut adalah van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur sewaktu pemerintahan India Belanda, yang kini mewakili NICA dan sejumlah orang Belanda, yang merupakan pejabat tinggiCivil Affairs.
Pada 18 September 1945, beberapa staf RAPWI diterjunkan dengan payung di Gunungsari, Surabaya. Mereka ditugaskan untuk berhubungan dengan para interniran Belanda dan Sekutu. Oleh Jepang, tim RAPWI ditempatkan di Hotel Yamato (Oranje), di Tunjungan, tanpa persetujuan pimpinan Republik Indonesia.
Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders (Batalyon Seaforth Highlanders termasuk resimen yang lebih dari 200 tahun lalu, telah mengharumkan namanya dalam operasi melawan Perancis dan Perancis- Belanda di Jawa di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles) dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 43 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Setelah memperoleh informasi dari perwira-perwira Inggris yang berada di Jakarta, Lord Mountbatten mengemukakan kebijakan baru yang akan dilakukannya di Indonesia, yaitu:
“Gagasan kami satu-satunya adalah membuat Belanda dan Indonesia saling berciuman dan kemudian mengundurkan diri.”
Kebijakan ini jelas sangat berbeda dengan surat perintah yang telah dikeluarkannya pada 2 September 1945, sehari setelah kedatangan van Mook dan van der Plas di Markas Besarnya di Kandy, Sri Lanka. Nampaknya sejalan dengan kebijakan baru dari Mountbatten tersebut, sebelum berangkat ke Jakarta, di Singapura Letnan Jenderal Christison membuat pernyataan di muka pers yang kemudian menjadi sangat kontroversial. Anderson mencatat:
"...Christison mengatakan, bahwa Inggris mempunyai tiga tujuan di Indonesia:
- untuk melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang Sekutu dan tawanan-tawanan lainnya;
- melucuti dan mengembalikan Jepang, dan
- memelihara hukum dan ketertiban.
Angkatan Darat Jepang ke 16 akan bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri di daerah-daerah yang tidak diduduki Sekutu, sampai
“pengaturan-pengaturan tercapai bagi pejabat-pejabat setempat untuk mengambilalihnya. Kemudian Jepang akan dilucuti …
…Inggris tidak mempunyai maksud untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri, melainkan hanya untuk menjamin hukum dan ketertiban.”
Christison juga meminta kepada pemimpin-pemimpin Indonesia supaya memperlakukan dia dan pasukannya sebagai tamu-tamu. Selanjutnya dia juga mengatakan: “Pasukan Inggris tidak akan bergerak di luar daerah-daerah pendudukan yang telah ditetapkan, yaitu Batavia (Jakarta), Surabaya, Medan dan Padang, untuk maksud apapun…"
Tentu pernyataan ini –yang membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia- menggoncangkan para petinggi Belanda, baik yang di Belanda, maupun yang telah berada di Indonesia karena mereka menilai, dengan pernyataan Christison tersebut, Inggris bermaksud tidak akan memenuhi perjanjian Chequers dan hasil keputusan Konferensi Yalta serta Deklarasi Potsdam, mengenai pengembalian situasi kepada status quo di Asia, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1942. Reaksi keras dari Pemerintah Belanda membuat Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan, bahwa Inggris tidak bermaksud untuk keluar dari perjanjian –Civil Affairs Agreement- yang telah ditandatangani di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.
Mengenai sepak-terjang tentara Australia dalam membantu Belanda “membersihkan” wilayah timur Indonesia, Anthony Reid mencatat:
“...Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
- di Kupang tanggal 11 September 1945,
- di Banjarmasin tanggal 17 September,
- di Makasar tanggal 21 September,
- di Ambon tanggal 22 September,
- di Manado tanggal 2 Oktober,
- di Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda...”
Setelah tentara Australia menguasai Bali, maka pada 2 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.
Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL yang terdiri dari beberapa ratus orang tentara.
Sementara itu, pada bulan Juni/Juli 1946, timbul konflik internal Republik Indonesia, dan Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh tentara Australia.
Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik.
Di tengah-tengah kemelut internal Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 secara resmi pimpinan tentara Australia “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Belanda tidak berlama-lama menunggu, dan pada 16 – 25 Juli 1946, van Mook menggelar “Konferensi Malino”, satu kota kecil di sebelah utara Makassar, yang dihadiri oleh 39 orang “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.
Di Konferensi Malino ini diletakkan dasar untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT), yang akan disempurnakan dalam Konferensi besar di Denpasar pada bulan Desember 1946.
Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia, tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan. Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.
Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado 14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda di Makassar. Sejak itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28 Februari 1947, dan –di tengah-tengah perundingan Konferensi Meja Bunda di Den Haag, Belanda- dieksekusi pada 5 September 1949.
Perlawanan rakyat Indonesia Timur, terutama di Sulawesi dan Bali sangat hebat, sehingga Belanda mengirim pasukan elit Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Westerling ke Sulawesi Selatan. Westerling menjalankan aksi terror, yaitu dengan membantai ribuan penduduk sipil tanpa proses (standrechtelijkeexcecutie), untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat Indonesia.
Untuk memuluskan pelaksanaan Konferensi besar di Denpasar, maka Belanda “membersihkan” tentara Indonesia di Bali. Dalam rangka menguasai seluruh Bali, terjadilah peristiwa heroik Puputan Margarana, di mana Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai tewas bersama 95 anak buahnya.
Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000 orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia, sehingga ketika Inggris menarik seluruh tentaranya dari Jawa dan Sumatera pada 30 November 1946, tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda dengan kekuatan yang sama. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta, Deklarasi Potsdam dan perjanjian Chequers.
Demikian “jasa” Australia dan Inggris dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk bertempur.
Politik pemerintah Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1947, setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak mungkin dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tidak akan terjadi pembantaian ratusan rakyat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Westerling bersama anak buahnya di Sulawesi Selatan antara 11 Desember 1946 – Februari 1947, dan di tepat-tempat lain di Indonesia. Tidak akan terjadi peristiwa pembantaian di desa Rawagede, Kranggan, Gerbong Maut Bondowoso, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, Sumatera Barat, dll.
Apabila berpegang pada hukum kausalitas, yaitu hukum sebab-dan-akibat (bahasa Jerman: Ursache und Wirkung), maka yang harus ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembantaian terhadap ratusan ribu rakyat Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, adalah Inggris dan Australia!
Kesimpulan dalam sejarahnya :
Belanda tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bahkan sampai detik ini, 6 September 2014. Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu (Allied Forces), Belanda “merasa” masih memiliki hak atas wilayah yang pada 9 Maret 1942 telah diserahkan kepada predator baru: Jepang.
Klaim Belanda bahwa wilayah Nusantara adalah “provinsi seberang laut”, tidak memiliki landasan hukum internasional, atau landasan hukum apapun. Sampai tahun 1942, Negara-negara di seluruh dunia saling menyerang dan saling merebut wilayah, termasuk di Eropa. Beberapa Negara di Eropa sempat “hilang”, seperti Austria, Cekoslovakia, dll. Dapat dikatakan, sampai tahun 1942, yaitu ketika Jepang melancarkan agresi militernya untuk menduduki Negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, dianggap wajar, sehingga batas Negara selalu berubah-ubah. Juga dapat dikatakan, sampai tahun 1942, berlaku “hukum rimba”, yaitu siapa yang kuat, dia memangsa yang lemah.
Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberi legitimasi kepada satu Negara atau satu bangsa, untuk menjajah Negara lain, bahkan menjual manusia hasil perampokannya sebagai budak, sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda di bumi Nusantara selama lebih dari 200 tahun. Antara tahun 1640- 1862 ada Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda.
Sebagaimana disebut di atas, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki landasan hukum internasional, landasan politik dan landasan moral, serta sesuai dengan Anggaran Dasar Persertikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun Bangsa Indonesia masih harus berperang selama hampir lima tahun, untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Agresi militer Belanda –yang awalnya dibantu oleh Inggris dan Australia- di Indonesia berakhir dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan November 1949, di mana disepakati a.l.:
Dibentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian,
Dibentuk Uni Belanda – Indonesia, di mana Ratu Belanda adalah kepala Uni Belanda – RIS,
Integrasi mantan tentara KNIL ke dalam tubuh TNI,
RIS yang dipandang sebagai kelanjutan dari India belanda, harus menanggung utang India Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya dua agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948. Pemerintah RIS, dan kemudian setelah RIS dibubarkan, dilanjutkan oleh pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar gulden, dan dihentikan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia tahun 1956.
Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga dalam RIS Irian barta tidak termasuk sebagai bagian dari RIS. Karena Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada RI, maka akhir tahun 50-an, timbul konfrontasi antara RI dengan Belanda. Dengan difasilitasi oleh PBB, tahun 1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, yang hasilnya menetapkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Untuk pemerintah Belanda, yang diakui secara yuridis adalah RIS, di mana Irian Barat tidak termasuk di dalamnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, setelah berdiri pada 27 Desember 1949, 15 negara bagian dibubarkan atau membubarkan diri, dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Tahun 1956 melalui UU No. 13/1956, Pemerintah RI menyatakan pembatalan KMB dan pembatalan Uni Belanda – Indonesia. Salahsatu butir yang sangat merugikan pemerintah RI adalah adanya ketentuan, bahwa apabila ingin melakukan hubungan dengan negara lain, RI harus mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda.
Belanda meninggalkan jajahannya, India-Belanda, pada 9 Maret 1942 sebagai pecundang. Ketika Belanda datang ke Republik Indonesia –dengan dibantu tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia- Belanda datang ke satu Negara yang MERDEKA DAN BERDAULAT!
Oleh karena itu, yang dilakukan oleh tentara Inggris (Pemboman Surabaya November 1945, Pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa dan Bandung Lautan Api), tentara Australia di wilayah Indonesia Timur dan kemudian oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia, adalah agresi militer terhadap Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Post a Comment